Sejarah Imigrasi

Sejarah Imigrasi Metro: Transformasi Kontrol Pergerakan di Jantung Lampung

Sejarah keimigrasian di Kota Metro, Provinsi Lampung, merupakan gambaran evolusi pengawasan dan pelayanan terhadap pergerakan manusia di wilayah yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan di Lampung bagian tengah. Meskipun tidak berbatasan langsung dengan laut atau negara lain, posisi Metro sebagai kota mandiri yang strategis menjadikannya simpul penting bagi mobilitas penduduk, baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA).

Periode Awal: Kota Transmigrasi dan Mobilitas Penduduk Lokal (Sebelum 1937)

Sebelum dikenal sebagai Kota Metro, wilayah ini adalah area hutan dan perkebunan yang kemudian dibuka sebagai bagian dari program kolonial Belanda untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa, yang dikenal sebagai program transmigrasi. Pada masa ini, pergerakan utama adalah migrasi internal dalam skala besar dari Jawa ke Lampung. Ribuan transmigran datang dengan kapal dan kereta api, kemudian disebar ke berbagai lokasi pemukiman baru, termasuk Trimurjo dan sekitarnya yang kelak menjadi Metro.

Pada periode ini, konsep keimigrasian modern dengan dokumen formal seperti paspor dan visa belum relevan untuk pergerakan internal WNI. Fokus pemerintah kolonial lebih pada pendataan dan pengaturan penempatan transmigran. Kontrol terhadap penduduk pribumi dan pendatang luar negeri (pedagang, buruh, misionaris) sudah ada, namun pelaksanaannya terpusat di pelabuhan-pelabuhan besar seperti Telukbetung (sekarang Bandar Lampung). Pergerakan ke wilayah pedalaman seperti Metro, yang awalnya merupakan permukiman baru, lebih banyak diatur oleh administrasi lokal dan kebijakan transmigrasi.

Pembentukan Kota Metro dan Awal Pengawasan (1937 – 1945)

Kota Metro secara resmi didirikan pada tahun 1937, menunjukkan perkembangan pesat sebagai pusat transmigrasi. Seiring dengan pertumbuhan kota, aktivitas ekonomi dan sosial juga meningkat. Meskipun belum ada kantor imigrasi mandiri, kebutuhan akan kontrol pergerakan orang mulai terasa. WNA yang mungkin datang sebagai pedagang atau pengusaha perkebunan, akan mengurus izin masuk dan tinggal di Telukbetung. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), kontrol terhadap pergerakan penduduk menjadi sangat ketat, terutama untuk mendukung logistik dan keamanan militer Jepang.

Masa Kemerdekaan dan Ketergantungan pada Kantor Induk (1945 – Akhir Abad ke-20)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, fungsi keimigrasian mulai dikelola oleh pemerintah republik. Namun, prioritas pembangunan dan keterbatasan sumber daya membuat pembentukan kantor imigrasi di setiap daerah belum memungkinkan. Masyarakat Kota Metro dan sekitarnya yang ingin mengurus paspor atau terkait dengan urusan keimigrasian lainnya, harus datang ke Kantor Imigrasi Kelas I TPI Bandar Lampung.

Selama puluhan tahun, Kantor Imigrasi Bandar Lampung menjadi satu-satunya gerbang utama layanan keimigrasian di Lampung. Hal ini berarti warga Metro harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan waktu yang lama, serta biaya transportasi yang tidak sedikit, untuk mengurus dokumen penting. Meskipun demikian, mobilitas penduduk tetap tinggi, baik WNI yang bepergian ke luar negeri untuk ibadah haji, pendidikan, atau bekerja, maupun WNA yang datang ke Metro untuk berbagai keperluan seperti pendidikan (mengingat Metro dikenal sebagai kota pendidikan), bisnis, atau sebagai tenaga ahli di sektor pertanian/perkebunan.

Era Modern: Kemandirian Kantor Imigrasi Metro dan Digitalisasi (Abad ke-21)

Kebutuhan akan pelayanan keimigrasian yang lebih dekat dan responsif terus meningkat seiring dengan pertumbuhan Kota Metro sebagai kota mandiri dan pusat regional. Pada era tahun 2000-an ke atas, seiring dengan kebijakan pemerintah untuk memperluas jangkauan layanan imigrasi, wacana pembentukan kantor imigrasi di Metro mulai mengemuka. Puncaknya, Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Metro resmi dibentuk dan beroperasi. Pendirian kantor ini menandai sebuah lompatan besar dalam sejarah keimigrasian di Kota Metro, dengan tujuan utama:

  1. Mendekatkan Pelayanan: Mempermudah akses bagi masyarakat Kota Metro dan kabupaten sekitarnya (seperti Lampung Timur, Lampung Tengah bagian timur, dan Way Kanan bagian selatan) dalam mengurus paspor dan berbagai izin keimigrasian lainnya. Ini mengurangi biaya dan waktu yang sebelumnya harus dikeluarkan.
  2. Meningkatkan Efektivitas Pengawasan: Kehadiran kantor imigrasi di Metro memungkinkan pengawasan yang lebih intensif terhadap keberadaan dan kegiatan WNA di wilayah ini. Metro, sebagai kota pendidikan, sering menjadi tempat tinggal bagi mahasiswa asing atau pengajar. Pengawasan yang lebih dekat mencegah potensi pelanggaran keimigrasian seperti overstay atau penyalahgunaan visa.
  3. Mendukung Pembangunan Daerah: Dengan layanan keimigrasian yang efisien, iklim investasi dan pendidikan di Metro dapat lebih kondusif, menarik lebih banyak stakeholder asing yang patuh hukum.

Saat ini, Kantor Imigrasi Metro terus beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan tuntutan pelayanan publik yang lebih baik. Implementasi aplikasi M-Paspor untuk antrean online, program “Eazy Passport” untuk layanan jemput bola, serta pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem pengawasan, menjadi prioritas. Tantangan yang dihadapi meliputi penyebaran informasi yang merata ke seluruh lapisan masyarakat, penanganan kasus-kasus pelanggaran keimigrasian, serta menjaga integritas dalam setiap proses pelayanan.

Melalui sinergi dengan berbagai instansi penegak hukum dan pemerintah daerah dalam wadah Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA), Kantor Imigrasi Metro bertekad untuk menjadi pilar penting dalam menjaga kedaulatan negara, ketertiban umum, serta berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kota Metro dan Lampung pada umumnya. Sejarah Imigrasi Metro adalah cerminan dari bagaimana sebuah kota yang tumbuh dari program transmigrasi kini menjadi pusat penting dalam administrasi pergerakan manusia di Indonesia.